Jumat, 17 Desember 2010

Etika Kerja Dalam Islam

Etika Kerja Dalam Islam
Oleh: Abi Ummu Salmiyah

Pengertian Kerja
Pengertian kerja dalam Islam dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kerja dalam arti luas (umum), yakni semua
bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Jadi dalam pandangan Islam pengertian kerja sangat luas,
mencakup seluruh pengerahan potensi yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, kerja dalam arti sempit (khusus), yakni kerja untuk memenuhi tuntutan hidup manusia berupa makanan,
pakaian, dan tempat tinggal (sandang, pangan dan papan) yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang harus
ditunaikannya, untuk menentukan tingkatan derajatnya, baik di mata manusia, maupun dimata Allah SWT. Dalam
melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus selalu diperhatikan. Seperti bekerja
dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak menipu, tidak
merampas, tidak mengabaikan sesuatu, tidak semena–mena (proporsional), ahli dan professional, serta tidak
melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam (al-Quran dan Hadits).
Pertama, melakukan pekerjaan dengan baik.
Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mu'minuun [23] : 51).
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah." (TQS. Al-Baqarah [2] : 172).
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang di antara kamu yang melakukan suatu pekerjaan dengan baik
(ketekunan)." (HR. Al Baihaqi).
Dalam memilih seseorang untuk diserahi suatu tugas, Rasulullah saw melakukannya secara selektif, di antaranya dilihat
dari segi keahlian, keutamaan, dan kedalaman ilmunya. Beliau juga selalu mengajak mereka agar tekun dalam
menunaikan pekerjaan.
Kedua, takwa dalam melakukan pekerjaan.
Al-Quran banyak sekali mengajarkan kita agar takwa dalam setiap perkara dan pekerjaan. Jika Allah SWT ingin menyeru
kepada orang-orang mukmin dengan nada panggilan seperti "wahai orang-orang yang beriman," biasanya diikuti oleh
ayat yang berorientasi pada kerja dengan muatan ketakwaan. Di antaranya, "keluarkanlah sebahagian dari apa yang
telah Kami anugerahkan kepadamu." "Janganlah kamu ikuti/rusak sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan)
dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan." "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwlah kamu kepada
Allah.
"…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang
yang berakal." (QS. Al-Baqarah [2] : 197).
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah
untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat." (TQS. Al-A'raf [7] : 26).
Kerja mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan didalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti adanya iman
dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari pekerjaan yang
mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar memperoleh upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja adalah demi
memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat. Etika bekerja yang disertai dengan ketakwaan
merupakan tuntunan Islam.
Ketiga, adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah, tidak menipu, merampas, mengabaikan sesuatu,
dan semena–mena.

Pekerja harus memiliki komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan kewajiban–kewajiban
Allah, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu, mereka harus
mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja sehingga menjadi suatu tradisi kerja yang didasarkan
pada prinsip–prinsip agama.
Cara seperti ini mempunyai dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Akhlak Islam tidak tergantung pada manusia bekerja
atau tidak bekerja, namun akhlah Islam lahir dari aqidah Islam, konsisten pada ajaran–ajaran Islam serta bertalian
dengan halal dan haram.
Keempat, adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
Sikap ini muncul dari iman dan rasa takut individu terhadap Allah. Kesadaran ketuhanan dan spiritualitasnya mampu
melahirkan sikap–sikap kerja positif. Kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun, serta
akan menghisab seluruh amal perbuatannya secara adil dan fair, kemudian akan membalasnya dengan pahala atau
siksaan di dunia.
Allah SWT berfirman:
"Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita
gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan
yang baik," (QS. Al-Kahfi [18] : 2).
Kesadaran inilah yang menuntut untuk bersikap cermat dan bersungguh–sungguh dalam bekerja, berusaha keras
memperoleh keridhaan Allah, dan memiliki hubungan yang baik dengan relasinya.
Dewasa ini sikap semacam itu telah banyak dilupakan orang. Hal ini disebabkan karena lemahnya komitmen terhadap
agama dan kurangnya konsistensi terhadap ajaran–ajarannya. Oleh karenanya, harus diupayakan penanaman
ketakwaan dalam hati dan jiwa manusia.
Kelima, berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
Rasulullah saw pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab : "Jual beli yang baik dan
pekerjaan seorang laki–laki dengan tangannya sendiri ". (H.R Abu Ya'la).
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang–orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para
utusan-Nya." (H.R Muslim dan Tirmidzi).
"Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap muslim." (H.R Ath Thabrani)
"Empat hal sekiranya ada pada diri anda maka sesuatu yang tidak ada pada diri anda (dari hal keduniaan) tidak
membahayakan anda, yaitu menjaga amanah, berbicara benar, berperagai baik, dan iffah dalam hal makanan." (HR.
Ahmad dan Ath Thabrani).
Keenam, dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat–alat produksi, atau binatang dalam bekerja.
Semua harus dipekerjakan secara proporsional dan wajar, misalnya tidak boleh mempekerjakan buruh atau hewan
secara zhalim. Termasuk didalamnya penggunaan alat–alat produksi secara terus menerus. Rasulullah saw
bersabda : "Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu."
Para ahli fiqih telah menegaskan pentingnya kasih sayang terhadap para pekerja dan hewan yang dipekerjakan. Mereka
yang sadar amat memperhitungkan beban yang semestinya dipikul oleh para pekerja. Mereka melarang membebani
binatang diluar kekuatannya. Mereka menyuruh para pekerja menurunkan barang–barang muatan dari atas
punggung hewan yang mengangkutnya jika sedang istirahat, agar tidak membahayakan.
Demikian pula terhadap alat–alat produksi, agar tidak dipergunakan secara terus menerus tanpa ada waktu
istirahat, guna mengurangi kerusakan yang terlalu cepat, apalagi jika alat–alat tersebut milik umum.
Ketujuh, Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.
Dalam bekerja tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam seperti memeras bahan–bahan
minuman keras, sebagai pencatat riba, pelayan bar, pekerja seks komersial (PSK), Narkoba, dan bekerja dengan
penguasa yang menyuruh kejahatan seperti membunuh orang dan sebagainya.

Rasulullah saw bersabda :
"Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai Sang Pencipta." (HR. Ahmad bin Hambal dalam Musnad-Nya
dan Hakim dalam Al Mustadraknya, kategori hadits shahih).
Kedelapan, kuat dan dapat dipercaya (jujur) dalam bekerja.
Baik pekerja pemerintah, swasta, bekerja pada diri sendiri, ataukah di umara, para hakim, para wali rakyat, maupun para
pekerja biasa, mereka adalah orang–orang yang disebut "pegawai tetap". Begitupun kelompok pekerja lain,
seperti tukang sepatu, penjahit, dan lainnya ; atau para pedagang barang–barang seperti beras; atau para petani,
mereka juga harus dapat dipercaya dan kuat, khususnya mereka mandiri dalam kategori terakhir.
Allah SWT berfirman :
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya."
Kesembilan, bekerja secara profesional (ahli).
Aspek profesionalisme ini amat penting bagi seorang pekerja. Maksudnya adalah kemampuan untuk memahami dan
melaksankan pekerjaan sesuai dengan prinsipnya (keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh
sifat–sifat amanah, kuat, berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan menguasai benar
pekerjaannnya.
Umar ra. sendiri pernah mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka orang–orang yang profesional
dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan: "Bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancurannya." (al-Hadits).
Jadi tanpa adanya profesionalisme atau keahlian, suatu usaha akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan. Juga
menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas produksi, bahkan sampai pada kesemrawutan manajemen, serta
kerusakan alat–alat produktivitas. Hal–hal ini tentunya jelas akan menyebabkan juga terjadinya
kebangkrutan total yang tidak diinginkan. Wallahu A'lam Bisshawab. (*)

http://spesialis-torch.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar